Jumat, 14 November 2014

7:20

...
7: 20 PM

“Ran..kamu kan?” Tanya seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi berkemeja lengan pendek di depanku
.
“Iya, Aga?” Memori di otak Ran tidak berhasil mencocokkan dengan tampilan laki-laki di depannya. Karena itu ia terdiam beberapa detik mencerna.

“oh..thank God. Maaf telat, gue sebenernya udah di daerah sini dari tadi. Tapi kelilingan ga liat lo. Salahnya gue ga parkir. Terus, gue liat lo dengan jam tangan Baby-G lo itu terus gue baru ngeh.”

“Masih kaya dulu ya Ga, kalo telat long story kaya novel”kata Ranti tanpa nada sinis sama sekali.

“Some things never change..hehe” Kata Aga nyengir. Melihat senyumnya baru kali ini Ranti yakin 100% kalau ini seseorang yang dulu pernah dicintainya dengan segala hormon yang ada di tubuhnya.

“Apa kabar Ga? Kita belum sempet ngobrol ya di telpon kemarin. Your first call in years.” Ranti mensugestikan otaknya untuk tidak merasa sedih dengan berkata barusan.

“Gue baik. Kamu? Gue sehat meskipun jauh kurusan daripada dulu. Gue kerja ga jauh dari sini, rumah juga. Tuh apartemen depan.”

“Waw..apartemen mewah itu?”

“Not mine..Gue maksa kantor ngasih gue fasilitas sama dengan yang dikasih ke expat. Gue merasa kepintaran gue sama kok dengan mereka, malah mungkin lebih, so I got it.”

“Good for you. Gue sesuai dengan bidang ilmu gue dulu, gue jadi sekretaris. Jangan bayangin yang wah-wah dulu juga. Gue ga pernah kecipratan uang korupsi pejabat kok.”

“Hahaha..kayanya itu sesuatu yang harus dibanggakan”

“Yah syukurlah kalo iya” Ranti mulai merasa kecanggungan dibanding detik-detik pertama mereka bertemu sudah berkurang. Bagaimanapun juga 10 tahun sudah lewat. Pria ini adalah seseorang yang terhitung cukup asing (lagi) bagi Ran.

“You look like a mess, Ga” Setelah itu Ran menyesali perkataannya barusan. Dia sendiri yang paling mengutuk keras orang yang berkomentar tentang penampilan fisik ketika pertama kali bertemu orang yang sudah lama sekali tidak ditemui. Tapi ya sudahlah, daripada canggung sama-sama diam.

“I believe that.” Setelah itu muncullah display senyum andalan Aga yang membuat Ran cepat-cepat merevisi pernyataannya sebelumnya.

Rasa nyaman Ran timbul pelan-pelan seiring dengan obrolan-obrolan di sepanjang malam itu. Hatinya berjingkrakan seperti baru saja menemukan pulpen favorit yang sudah lama hilang di kantor. Aga membuatnya ingat akan banyak kesenangan di masa kuliah dulu. Sebagian besar karena Aga adalah bagian dari semua itu. Aga, her first man crush. Yang mungkin juga cinta, yang mungkin juga bukan. Karena terlalu banyak yang harus dijelaskan untuk membuktikan kalau itu memang cinta. Love is not just feeling.

“Ga..apa yang terjadi 10 tahun ini? How did u find me? Why? ” Akhirnya Ran memulai. Aga tidak akan menjelaskan kalau tidak ditanya. Selfish son of a bitch.

“How-nya ga penting, teknis lah. But the why part, mungkin ga cukup malam ini aja gue bisa menjelaskan apalagi meyakinkan kamu. So ready?”

“Shoot” Ran pasrah.

“I was cheated on you. And i was too ashamed to admit it. I’m a coward back than. I entirely hope I’m not that person anymore. So, i chose to do this.” Ran sulit menangkap emosi Aga sewaktu berkata ini. Diapun berusaha mencerna.

“Dina? Anak AISEC itu?” Sudah ratusan kali Ran mengulang skenario akan bertanya seperti ini selama bertahun-tahun di kepalanya. The day has come.

“Kamu udah tau” Bukan pertanyaan, karena sudah jelas Ran tahu. Mungkin Aga juga sudah menduga kalau Ran tahu akan hal itu. Sehingga dia pergi, tanpa memberitakan apa-apa selepas wisuda, berharap Ran cepat melupakan dirinya. Ternyata yang tinggal bersama waktu Cuma rasa bersalah Aga.

“Gue udah gak papa kok Ga. I pass that years ago.” Ran ikut meyakinkan diri sendiri.

“Gue lega. Tapi gue tetep minta maaf Ranti” Tatapan Aga terlihat tulus, Ran sekilas melihat noda basah di ujung matanya. Tapi mungkin itu cuma khayalan.

Perasaan memaafkan itu ternyata teruji jika kau berhadapan langsung dengan obyekmu langsung. Obyek yang kau benci berulang kali, yang kau harap mereka tau sakitnya dibenci olehmu. Obyek yang bisa kau sentuh, kau lukai, atau kau diamkan tanpa batas waktu.
Lebih mudah mempermalukan Aga, daripada menerima semuanya.
Lebih mudah mencaci daripada menerima semuanya.
Lebih mudah bersumpah tidak mengampuni daripada menerima semuanya.

Tapi mungkin yang lebih mudah bukanlah yang terbaik.

*Terinspirasi dari comebacknya AADC =D


Selasa, 13 Mei 2014

Katakan padaku apa itu tegar.
Apa tegar itu terletak di sudut mata yang selalu mengembun?
Apa tegar itu di ruang paru-paru yang enggan diisi?

Selasa, 11 Februari 2014

Ciri-ciri Manusia Mulai Tua Yang Mencoba Untuk Keren

Maaf yang tua-tua kalo kesinggung. Tapi ini cuma hasil pengamatan gw yang sebenernya tua juga. Dan melakukan paling engga satu dari list di bawah :

1. Mendadak traveler. Karena baru ngeh kalo udah beranjak tua tapi belum pernah kemana-mana, jadi traveling itu udah kaya kegiatan nyari setoran. Pokoknya HARUS UDAH PERNAH KESINI DAN KESITU. Semuanya direncanain dari cuma ke Kep Seribu  sampai luar negeri sama komunitas backpacker. Rencana udah setinggi langit tapi keseringannya malah ga jadi karena harus ngerjain ini itu di kantor.

2. Belajar Diving. Sebenernya ga suka-suka banget maenan air. Snorkeling aja baru sekali.

3. Langganan National Geographic atau Reader's Digest. Apalah arti kita sebagai umat manusia kalo ga berpengetahuan dan berbudaya?

4. Beli kamera SLR. Mahal belinya tapi akhirnya pake auto juga.

5. Sok-Sokan Tau Politik. Nyamber aja kalo ada yang ngomongin tentang politik di twitter, padahal cuma tau karena baca dari media di internet, satu kali doang pula. Satu kali doang, karena pada dasarnya ga suka politik (tapi ga mau ngaku).

6. Sok-Sokan Suka Kopi. Suka banget cari referensi kafe yang kopinya enak. Tapi setiap minum kopi nyarinya gula.

Sekian, silahkan tersinggung. =D

Minggu, 09 Februari 2014

Gambar Legendaris

Source: google images
Jadi..gw kesentil sama satu twitpic orang yang isinya gambar anak-anak SD di Indonesia yang ternyata sama semua. Gambar gunung dua dempetan, di tengah-tengah ada matahari ngintip terus di tengah gunung ada jalan raya yang kiri kanannya sawah. Tau kan? Siapa sih yang belum pernah gambar kaya gini. Itu ironi yang diambil dari si publisher twitpic tersebut. Kok bisa kita gambar hal yang sama. Emang anak-anak (yang sekarang sebagian udah bangkotan) Indonesia ga kreatif?
Ternyata twitpic yang gw bilang tadi banyak mancing komen. Kebanyakan ketawa ironis (ya emang buat lucu-lucuan sih), ada lagi yang nyalahin guru, lebih lebar lagi ada yang nyalahin sistem pengajaran di Indonesia.
Ya, itu bisa aja. Bukan mau cari kambing hitam, tapi penyebab itu mesti ada toh?  
Meskipun gw bukan guru, bapak dan ibu gw juga bukan guru, tetangga gw juga bukaaan. Gw ga rela kalo guru disalahin disini. Sumpah gw bukan murid kesayangan guru kesenian dulu, malah gw lupa guru kesenian SD gw kaya apa. Yang gw inget guru gw ga pernah ngajarin gw untuk terus-terusan menggambar gunung seperti di atas sampai 20 atau 30 tahun lagi. Gw juga ga inget guru gw pernah nyekokin gw kalo itu gambar yang paling bener buat dipake buat ngegambarin pedesaan atau alam. Yang gw inget adalah gw mencontoh, dan yaudah.. Itu nancep di kepala.  
Nah, apakah guru gw salah dengan mencontohkan gw cara menggambar alam? Apakah mencontoh itu proses belajar? Gw harus setuju kalo ada yang nanya gini, karena menurut gw sebagian besar proses pembelajaran manusia dari dini dengan mencontoh. Bisa jadi malah semua yang bisa kita lakukan selama hidup selain mencari puting ibu, adalah hasil mencontoh. Ya mbuh, tapi bisa jadi kan?
Kembali lagi ke persoalan gambar-gambaran. Jadi apa yang salah?
Gw inget pernah liat video Youtube (pardon the reference) tentang anak bayi bule yang belajar merangkak sambil nempelin jidat ke lantai. Karena si bayi ga bisa liat ke depan jadilah dia kepentok-pentok kursi, meja dan sebagainya. Ibunya ada? Ada. Dia ngeliatin si bayi dari jarak 2 meter dan terus-terusan mastiin si bayi ga kena benda-benda tajam di sekitarnya. Abis si bayi puas nyapu lantai, si ibu ngecek kepala si bayi terus diusap-usap.
Ada bayi lain (masih bukan bayi Indonesia), eh batita deng. Jalan ke luar rumah (dengan sepengamatan ibu ya) ngerasain ujan untuk pertama kalinya. Si bayi seneng-seneng takut, bolak balik keluar masuk rumah sambil cengingisan.
Lucu yaaa?
Tapi apa yang terjadi kalo disini? Nyokap gw bakalan marah-marah karena ya dasarnya takut anaknya bakal kenapa-kenapa. Dengan quote dahsyatnya itu : “Ntar mama juga yang repot!!” *forever echoing
Yang ga punya orangtua gini selamat deh ya. Karena menurut gw ngebiarin anak berani buat menghadapi apa aja, dan punya pengalaman banyak dalam hidupnya adalah wujud kasih sayang yang luar biasa.
Jadi ga usah jauh-jauh ngebahas kualitas guru, kurikulum, dan sistem belajar-mengajar. Sebelum menyalahkan ke faktor eksternal, kitanya sendiri apa punya rasa kebebasan yang cukup baik untuk jadi manusia yang kreatif?
Mari menggambar alam lagi.